Kamis, 17 April 2014

KEMISKINAN

KEMISKINAN
A.    PENDAHULUAN
Kemiskinan pada dasarnya merupakan salah satu bentuk problema yang muncul dalam kehidupan masyarakat, khususnya pada negara-negara yang sedang berkembang. Kemiskinan yang dimaksud adalah kemiskinan dalam bidang ekonomi. Dikatakan berada di bawah garis kemiskinan apabila pendapatan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling pokok seperti pangan, pakaian dan tempat berteduh atau dengan pendapat lain, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Kemiskinan bukanlah suatu yang terwujud dengan sendiri terlepas dari aspek-aspek lainnya, tetapi kemiskinan itu terwujud sebagai hasil interaksi antara berbagai aspek yang ada dalam kehidupan manusia. Terutama aspek sosial dan aspek ekonomi. Aspek sosial adalah adanya ketidaksamaan sosial di antara sesama warga masyarakat yang bersangkutan, seperti perbedaan suku bangsa, ras, kelamin, usia yang bersumber dari corak sistem pelapisan yang ada dalam masyarakat. Sedangkan aspek ekonomi adalah adanya ketidaksamaan di antara sesama warga masyarakat dalam hak dan kewajiban yang berkenaan dengan pengalokasian sumber-sumber daya ekonomi.
Sementara itu klasifikasi atau penggolongan seseorang atau masyarakat dikatakan miskin ditetapkan dengan menggunakan tolak ukur utama, yaitu :
Tingkat pendapatan. Misalkan saja di Indonesia, tingkat pendapatan digunakan ukuran kerja waktu sebulan. Dengan adanya tolak ukur ini, maka jumlah dan siapa yang tergolong dalam orang miskin dapat diketahui. Atau dengan menggunakan batas minimal jumlah kalori yang dikonsumsi, yang diambil persamaannya dalam kg beras.
Kebutuhan relatif per keluarga dibuat berdasarkan atas kebutuhan minimal yang harus dipenuhi dalam sebuah keluarga agar dapat melangsungkan kehidupannya secara sederhana tetapi memadai sebagai warga masyarakat yang layak.
Jika dikaitkan dengan kemakmuran, maka ada dua persepsi masyarakat yang cukup berlawanan tentang hal ini. Persepsi pertama adalah yang berpikir rasional dan eksak. Bahwa kemakmuran seseorang diukur dengan jumlah serta nilai bahan-bahan dan barang-barang yang dimiliki atau dikuasai untuk memelihara dan menikmati hidupnya. Semakin banyak jumlah dan makin tinggi nilainya, maka akan makin tinggi taraf kemakmuran hidupnya. Sedangkan persepsi kedua adalah pandangan masyarakat umum, terutama pedesaan. Mereka beranggapan bahwa kemakmuran tidaklah berbeda dengan kebahagiaan. Seseorang akan merasa makmur bila sudah ada keserasian antara keinginan-keinginan dan keadaan materil atau sosial yang dimiliki atau dikuasainya. Karenanya mereka selalu berusaha untuk menyeimbangkan antara keinginan dan keadaan materinya. Jika keinginan mereka berlebih, sementara keadaan materil mereka tidak mencukupi maka mereka harus mengurangi keinginan yang ada. Begitu juga sebaliknya.
Usaha memerangi kemiskinan dapat dilakukan dengan cara memberikan pekerjaan yang memberikan pendapatan yang layak kepada orang-orang miskin. Karena dengan cara ini bukan hanya tingkat pendapatan yang dinaikkan, tetapi harga diri sebagai manusia dan sebagai warga masyarakat dapat dinaikkan seperti warga lainnya. Dengan lapangan kerja dapat memberikan kesempatan kepada mereka untuk bekerja dan merangsang berbagai kegiatan-kegiatan di sektor ekonomi lainnya.
B.     PERMASALAHAN
Ø  Apa pengertian kemiskinan
Ø  Bagaimana cara mengukur,  kemiskinan dunia dan penyebab kemiskinan
Ø  Bagaimana cara mehilangkan kemiskinan
Ø  Bagaimana seputaran perdebatan konsep kemiskinan
C.    PEMBAHSAAN
a.      Pengertian kemiskinan
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan , pakaian , tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan,dll.
Biro Pusat Statistik (BPS) misalnya menggunakan pendekatan ekonomi dalam mendefinisikan kemiskinan. Menurut BPS, orang miskin adalah orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan minimumnya, baik kebutuhan makanan maupun kebutuhan lainnya. Garis kemiskinan makanan adalah jumlah rupiah yang dibutuhkan agar seseorang dapat mengonsumsi 2100 kalori per hari selama sebulan. Rata-rata seorang manusia memerlukan 2100 kalori per hari agar hidup sehat. Sementara itu garis kemiskinan nonmakanan ditentukan berdasarkan perhitungan mengenai kebutuhan dasar seperti perumahan, pakaian, kesehatan, dan transportasi (Ananta, 2006: 198).
Menurut Yuna Farhan, 2006 (sebagaimana dikutip Zada, Kompas, 13 November 2007), kemiskinan merupakan persoalan yang sangat kompleks, tidak semata-mata berhubungan dengan rendahnya pendapatan dan tingkat konsumsi masyarakat, namun berkaitan dengan rendahnya tingkat pendidikan, akses kesehatan, ketidakberdayaan untuk berpartisipasi dalam dalam proses pengambilan keputusan publik, ketidakmampuan menyampaikan aspirasi, serta berbagai masalah yang berkaitan dengan pembangunan manusia.
Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup:
Ø  Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhanpangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.
Ø  Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi. Gambaran kemiskinan jenis ini lebih mudah diatasi daripada dua gambaran yang lainnya.
Ø  Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna "memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia. Gambaran tentang ini dapat diatasi dengan mencari objek penghasilan diluar profesi secara halal. Perkecualian apabila institusi tempatnya bekerja melarang.
b.      Mengukur,  kemiskinan dunia dan penyebab kemiskinan
Ø  Mengukur kemiskinan
Kemiskinan bisa dikelompokan dalam dua kategori , yaitu Kemiskinan absolut danKemiskinan relatif. Kemiskinan absolut mengacu pada satu set standard yang konsisten , tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat / negara. Sebuah contoh dari pengukuran absolut adalah persentase dari populasi yang makan dibawah jumlah yg cukup menopang kebutuhan tubuh manusia (kira kira 2000-2500 kalori per hari untuk laki laki dewasa).
Bank Dunia mendefinisikan Kemiskinan absolut sebagai hidup dg pendapatan dibawahUSD $1/hari dan Kemiskinan menengah untuk pendapatan dibawah $2 per hari, dg batasan ini maka diperkiraan pada 2001 1,1 miliar orang didunia mengonsumsi kurang dari $1/hari dan 2,7 miliar orang didunia mengonsumsi kurang dari $2/hari."Proporsi penduduk negara berkembang yang hidup dalam Kemiskinan ekstrem telah turun dari 28% pada 1990 menjadi 21% pada 2001.Melihat pada periode 1981-2001, persentase dari penduduk dunia yang hidup dibawah garis kemiskinan $1 dolar/hari telah berkurang separuh. Tetapi , nilai dari $1 juga mengalami penurunan dalam kurun waktu tersebut.
Meskipun kemiskinan yang paling parah terdapat di dunia bekembang, ada bukti tentang kehadiran kemiskinan di setiap region. Di negara-negara maju, kondisi ini menghadirkan kaum tuna wisma yang berkelana ke sana kemari dan daerah pinggiran kota dan ghetto yang miskin. Kemiskinan dapat dilihat sebagai kondisi kolektif masyarakat miskin, atau kelompok orang-orang miskin, dan dalam pengertian ini keseluruhan negara kadang-kadang dianggap miskin. Untuk menghindari stigma ini, negara-negara ini biasanya disebut sebagai negara berkembang.
Ø  Kemiskinan dunia
Deklarasi Copenhagen menjelaskan kemiskinan absolut sebagai "sebuah kondisi yang dicirikan dengan kekurangan parah kebutuhan dasar manusia, termasuk makananair minum yang aman, fasilitas sanitasi, kesehatan, rumah, pendidikan, dan informasi."
Bank Dunia menggambarkan "sangat miskin" sebagai orang yang hidup dengan pendapatan kurang dari PPP$1 per hari, dan "miskin" dengan pendapatan kurang dariPPP$2 per hari. Berdasarkan standar tersebut, 21% dari penduduk dunia berada dalam keadaan "sangat miskin", dan lebih dari setengah penduduk dunia masih disebut "miskin", pada 2001. 
Ø  Penyebab kemiskinan
Kemiskinan banyak dihubungkan dengan:
1.      penyebab individual, atau patologis, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin. Contoh dari perilaku dan pilihan adalah penggunaan keuangan tidak mengukur pemasukan.
2.      penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga. Penyebab keluarga juga dapat berupa jumlah anggota keluarga yang tidak sebanding dengan pemasukan keuangan keluarga.
3.      penyebab sub-budaya (subcultural), yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar. Individu atau keluarga yang mudah tergoda dengan keadaan tetangga adalah contohnya.
4.      penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi. Contoh dari aksi orang lain lainnya adalah gaji atau honor yang dikendalikan oleh orang atau pihak lain. Contoh lainnya adalah perbudakan.
5.      penyebab struktural, yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial.
Meskipun diterima luas bahwa kemiskinan dan pengangguran adalah sebagai akibat dari kemalasan, namun di Amerika Serikat (negara terkaya per kapita di dunia) misalnya memiliki jutaan masyarakat yang diistilahkan sebagai pekerja miskin; yaitu, orang yang tidaksejahtera atau rencana bantuan publik, namun masih gagal melewati atas garis kemiskinan.
c.       Menghilangkan kemiskinan
Tanggapan utama terhadap kemiskinan adalah:
Ø  Bantuan kemiskinan, atau membantu secara langsung kepada orang miskin. Ini telah menjadi bagian pendekatan dari masyarakat Eropa sejak zaman pertengahan. Di Indonesia salah satunya berbentuk BLT.
Ø  Bantuan terhadap keadaan individu. Banyak macam kebijakan yang dijalankan untuk mengubah situasi orang miskin berdasarkan perorangan, termasuk hukuman, pendidikan, kerja sosial, pencarian kerja, dan lain-lain.
Persiapan bagi yang lemah. Daripada memberikan bantuan secara langsung kepada orang miskin, banyak negara sejahteramenyediakan bantuan untuk orang yang dikategorikan sebagai orang yang lebih mungkin miskin, seperti orang tua atau orang dengan ketidakmampuan, atau keadaan yang membuat orang miskin, seperti kebutuhan akan perawatan kesehatan. Persiapan bagi yang lemah juga dapat berupa pemberian pelatihan sehingga nanti yang bersangkutan dapat membuka usaha secara mandiri.
d.      Seputaran perdebatan konsep kemiskinan
Diskusi tentang kemiskinan
Data sebuah lingkungan belajar. Terutama murid yang lebih kecil yang berasal dari keluarga miskin, kebutuhan dasar mereka seperti yang dijelaskan oleh Abraham Maslow dalam hirarki kebutuhan Maslow; kebutuhan i beralih ke kemiskinan pada umumnya) yaitu efek Matthew.
Perdebatan yang berhubungan dalam keadaan capital manusia dan capital individualseseorang cenderung untuk memfokuskan kepada akses capital instructional dancapital social yang tersedia hanya bagi mereka yang terdidik dalam sistem formal.
Kondisi dan fenomena kemiskinan yang mengungkung sebagian besar masyarakat kita hingga kini masih menyimpan banyak perdebatan. Perdebatan tersebut terutama seputar teori, konsep maupun metode-metode yang menyangkut tentang kondisi kemiskinan di sekitar kita. Perdebatan dimulai dengan penyusunan konsep, indikator, dan langkahlangkah termasuk kebijaksanaan yang harus diambil berhubungan dengan cara mengatasinya, atau dengan bahasa praktisnya penanggulangan kemiskinan. Hal ini menjadi makin menjadi kontras, tatkala pihak-pihak yang mengalami atau berada dalam ‘kondisi miskin’ terus bertambah julah atau tingkat kemiskinanya.
Kemiskinan seperti diungkapkan oleh Suparlan (1994), dinyatakan sebagai suatu keadaan kekurangan harta atau benda berharga yang diderita oleh seseorang atau sekelompok orang. Akibat dari kekurangan harta atau benda tersebut maka seseorang atau sekelompok orang itu merasa kurang mampu membiayai kebutuhankebutuhan hidupnya sebagaimana layaknya. Kekurang mampuan tersebut mungkin hanya pada tingkat kebutuhan-kebutuhan budaya (adat, upacara-upacara, moral dan etika), atau pada tingkat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan social (pendidikan, berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesama) atau pada tingkat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang mendasar (makan-minum, berpakaian, bertempat tinggal atau rumah, kesehatan dan sebagainya). 
Kemiskinan, masih menurut Suparlan (1994), dengan demikian terserap ke dalam dan mempengaruhi hamper keseluruhan aspek-aspek kehidupan manusia.Kemiskinan merupakan masalah sosial yang sangat kompleks, karena itu perlu tinjauan menyeluruh dari berbagai sudut pandang. Sebagian sarjana menjelaskan masalah kemiskinan melalui analisis politik dan pendekatan struktural. Sarjana yang lain meninjaunya dari perspektif kebudayaan, yang melahirkan pendekatan kultural.
Penganut strukturalis bermazhab Marxian menggunakan analisis konflik kelas, yang terfokus pada:
Ø  Politik pembangunan yang elitis,
Ø  Kebijakan sosial yang tidak adil,
Ø  Dominasi sumber daya finansial oleh kelompok tertentu,
Ø  Penguasaan aset ekonomi dan alat-alat produksi oleh golongan kecil masyarakat, dan
Ø  Keterbatasan akses pada kegiatan ekonomi produktif.
Sedangkan penganut paham kultural melihat isu krusial ini dengan melakukan analisis mengenai orientasi nilai budaya di kalangan orang miskin. Analisis kultural bersifat inward looking dengan mengamati sikap, perilaku, dan cara pandang orang miskin dalam menjalani kehidupan. Kaum kulturalis berpandangan, orientasi nilai budaya orang miskin itu tidak mendukung upaya untuk melepas mata rantai kemiskinan. Suatu keluarga miskin cenderung mewariskan nilai budaya miskin dari generasi ke generasi, sehingga lingkaran kemiskinan tak bisa diputus. Interaksi sosial di lingkungan keluarga miskin menjadi wahana sosialisasi nilai bagi anak-anak secara berkesinambungan, yang menyebabkan the chain of poverty makin kuat sehingga tak dapat diurai.
Sikap Mental Dalam perspektif kebudayaan, masalah kemiskinan bukan sekadar menyangkut kelangkaan sumber daya ekonomi, ketidakadilan distribusi aset produktif, atau dominasi sumber-sumber finansial oleh golongan tertentu. Dalam kajian antropologi pembangunan, ada sebuah ungkapan terkenal: “poverty is a state of willingness rather than scarcity.” Di luar kendala struktural, masalah kemiskinan menyangkut sikap mental, pola perilaku, dan predisposisi yang berpangkal pada state of mind yang tak bersenyawa dengan spirit perubahan, kemajuan, dan peningkatan status serta kualitas kehidupan.
Buku klasik karangan Oscar Lewis, Five Families: Mexican Case Studies in the Culture of Poverty (1959), secara cemerlang menguraikan betapa orientasi nilai, pola hidup, dan cara berpikir orang miskin mencerminkan suatu kebudayaan kemiskinan. Tesis utamanya: orang miskin memiliki karakteristik dan nilai-nilai budaya yang berbeda dengan orang kebanyakan, yang kemudian membentuk sub-kultur tersendiri.
Lewis menulis,  “the culture of poverty indicates that poor people share deviant cultural characteristics; they have lifestyles that differ from the rest of society and these characteristics perpetuate their life of poverty.” 
Jadi, kemiskinan bukan semata bersumber pada kebijakan negara yang didominasi golongan elite, yang melahirkan ketimpangan ekonomi. Atau regulasi pemerintah yang tak adil, sehingga membuahkan marginalisasi sosial.
Karakteristik kebudayaan kemiskinan antara lain :
1.      Rendahnya semangat dan dorongan untuk meraih kemajuan,
2.      Lemahnya daya juang (fighting spirit) untuk mengubah kehidupan,
3.      Rendahnya motivasi bekerja keras,
4.      Tingginya tingkat kepasrahan pada nasib-nrimo ing pandum,
5.      Respons yang pasif dalam menghadapi kesulitan ekonomi,
6.      Lemahnya aspirasi untuk membangun kehidupan yang lebih baik,
7.      Cenderung mencari kepuasan sesaat (immediate gratification) dan berorientasi masa sekarang (present-time orientation), dan
8.      Tidak berminat pada pendidikan formal yang berdimensi masa depan.
Karakteristik kebudayaan kemiskinan ini bertolak belakang dengan ciri-ciri manusia modern menurut gambaran Alex Inkeles dan David Smith dalam Becoming Modern (1974), yang mengutamakan kerja keras, dorongan untuk maju, pencapaian prestasi, dan berorientasi masa depan.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa faktor internal yakni mentalitas orang miskin turut memberi sumbangan pada problem kemiskinan, dan bukan semata faktor eksternal atau masalah struktural.
D.    KESIMPULAN
Kemiskinan pada dasarnya merupakan salah satu bentuk problema yang muncul dalam kehidupan masyarakat, khususnya pada negara-negara yang sedang berkembang. Kemiskinan yang dimaksud adalah kemiskinan dalam bidang ekonomi. Dikatakan berada di bawah garis kemiskinan apabila pendapatan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling pokok seperti pangan, pakaian dan tempat berteduh atau dengan pendapat lain, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Kemiskinan bisa dikelompokan dalam dua kategori , yaitu Kemiskinan absolut dan Kemiskinan relatif.Perdebatan yang berhubungan dalam keadaan capital manusia dan capital individualseseorang cenderung untuk memfokuskan kepada akses capital instructional dancapital social yang tersedia hanya bagi mereka yang terdidik dalam sistem formal.banyak negara sejahteramenyediakan bantuan untuk orang yang dikategorikan sebagai orang yang lebih mungkin miskin, seperti orang tua atau orang dengan ketidakmampuan, atau keadaan yang membuat orang miskin, seperti kebutuhan akan perawatan kesehatan. Persiapan bagi yang lemah juga dapat berupa pemberian pelatihan sehingga nanti yang bersangkutan dapat membuka usaha secara mandiri.




Sumber Referensi
Amich Alhumami (Peneliti Sosial, Department of Social Anthropology, University of Sussex, United Kingdom) dalam artikel “BLT dan budaya kemiskinana”. Di akses dari ‘Suara Pembarua Daily’ pada 29 mei 2008.
Lewis, Oscar : Kisah Lima Keluarga; 1988. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
Suparlan, Dr. Parsudi (penyunting): Kemiskinan Di Perkotaan, Bacaan Untuk Antropologi Perkotaan; 1984. Jakarta. Penerbit Sinar Harapan dan Yayasan Obor Indonesia.
ditpk.bappenas.go.id — Direktorat Penanggulangan Kemiskinan BAPPENAS
Make Poverty History — Campaign dealing with fighting poverty.
Poverty — The Development Gateway community portal on Poverty is a comprehensive collection of articles, reports, data, statistics, projects and other resources.
PovertyNet — PovertyNet from The World Bank Group provides an introduction to key issues as well as in-depth information on poverty measurement, monitoring, analysis, and on poverty reduction strategies for researchers and practitioners.
Center for Global Development — The Center for Global Development is a Washington, D.C. policy center pursuing research-based, actionable ideas for the fight against global poverty.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar