KEMISKINAN
A.
PENDAHULUAN
Kemiskinan pada dasarnya merupakan salah satu bentuk
problema yang muncul dalam kehidupan masyarakat, khususnya pada negara-negara
yang sedang berkembang. Kemiskinan yang dimaksud adalah kemiskinan dalam bidang
ekonomi. Dikatakan berada di bawah garis kemiskinan apabila pendapatan tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling pokok seperti pangan, pakaian
dan tempat berteduh atau dengan pendapat lain, yaitu adanya suatu tingkat
kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan
standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Kemiskinan bukanlah suatu yang terwujud dengan sendiri
terlepas dari aspek-aspek lainnya, tetapi kemiskinan itu terwujud sebagai hasil
interaksi antara berbagai aspek yang ada dalam kehidupan manusia. Terutama
aspek sosial dan aspek ekonomi. Aspek sosial adalah adanya ketidaksamaan sosial
di antara sesama warga masyarakat yang bersangkutan, seperti perbedaan suku
bangsa, ras, kelamin, usia yang bersumber dari corak sistem pelapisan yang ada
dalam masyarakat. Sedangkan aspek ekonomi adalah adanya ketidaksamaan di antara
sesama warga masyarakat dalam hak dan kewajiban yang berkenaan dengan
pengalokasian sumber-sumber daya ekonomi.
Sementara itu klasifikasi atau penggolongan seseorang atau
masyarakat dikatakan miskin ditetapkan dengan menggunakan tolak ukur utama,
yaitu :
Tingkat pendapatan. Misalkan saja di Indonesia, tingkat
pendapatan digunakan ukuran kerja waktu sebulan. Dengan adanya tolak ukur ini,
maka jumlah dan siapa yang tergolong dalam orang miskin dapat diketahui. Atau
dengan menggunakan batas minimal jumlah kalori yang dikonsumsi, yang diambil
persamaannya dalam kg beras.
Kebutuhan relatif per keluarga dibuat berdasarkan atas
kebutuhan minimal yang harus dipenuhi dalam sebuah keluarga agar dapat
melangsungkan kehidupannya secara sederhana tetapi memadai sebagai warga
masyarakat yang layak.
Jika dikaitkan dengan kemakmuran, maka ada dua persepsi
masyarakat yang cukup berlawanan tentang hal ini. Persepsi pertama adalah yang
berpikir rasional dan eksak. Bahwa kemakmuran seseorang diukur dengan jumlah
serta nilai bahan-bahan dan barang-barang yang dimiliki atau dikuasai untuk
memelihara dan menikmati hidupnya. Semakin banyak jumlah dan makin tinggi
nilainya, maka akan makin tinggi taraf kemakmuran hidupnya. Sedangkan persepsi
kedua adalah pandangan masyarakat umum, terutama pedesaan. Mereka beranggapan
bahwa kemakmuran tidaklah berbeda dengan kebahagiaan. Seseorang akan merasa
makmur bila sudah ada keserasian antara keinginan-keinginan dan keadaan materil
atau sosial yang dimiliki atau dikuasainya. Karenanya mereka selalu berusaha
untuk menyeimbangkan antara keinginan dan keadaan materinya. Jika keinginan
mereka berlebih, sementara keadaan materil mereka tidak mencukupi maka mereka
harus mengurangi keinginan yang ada. Begitu juga sebaliknya.
Usaha memerangi kemiskinan dapat dilakukan dengan cara
memberikan pekerjaan yang memberikan pendapatan yang layak kepada orang-orang
miskin. Karena dengan cara ini bukan hanya tingkat pendapatan yang dinaikkan,
tetapi harga diri sebagai manusia dan sebagai warga masyarakat dapat dinaikkan
seperti warga lainnya. Dengan lapangan kerja dapat memberikan kesempatan kepada
mereka untuk bekerja dan merangsang berbagai kegiatan-kegiatan di sektor
ekonomi lainnya.
B.
PERMASALAHAN
Ø Apa
pengertian kemiskinan
Ø Bagaimana
cara mengukur, kemiskinan dunia dan
penyebab kemiskinan
Ø Bagaimana
cara mehilangkan kemiskinan
Ø Bagaimana
seputaran perdebatan konsep kemiskinan
C.
PEMBAHSAAN
a. Pengertian kemiskinan
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan
untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan , pakaian , tempat berlindung,
pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat
pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan
pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah
ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari
segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah
yang telah mapan,dll.
Biro
Pusat Statistik (BPS) misalnya menggunakan pendekatan ekonomi dalam
mendefinisikan kemiskinan. Menurut BPS, orang miskin adalah orang yang tidak
dapat memenuhi kebutuhan minimumnya, baik kebutuhan makanan maupun kebutuhan
lainnya. Garis kemiskinan makanan adalah jumlah rupiah yang dibutuhkan
agar seseorang dapat mengonsumsi 2100 kalori per hari selama sebulan. Rata-rata
seorang manusia memerlukan 2100 kalori per hari agar hidup sehat. Sementara itu
garis kemiskinan nonmakanan ditentukan berdasarkan perhitungan
mengenai kebutuhan dasar seperti perumahan, pakaian, kesehatan, dan
transportasi (Ananta, 2006: 198).
Menurut
Yuna Farhan, 2006 (sebagaimana dikutip Zada, Kompas, 13 November
2007), kemiskinan merupakan persoalan yang sangat kompleks, tidak semata-mata
berhubungan dengan rendahnya pendapatan dan tingkat konsumsi masyarakat, namun
berkaitan dengan rendahnya tingkat pendidikan, akses kesehatan,
ketidakberdayaan untuk berpartisipasi dalam dalam proses pengambilan keputusan
publik, ketidakmampuan menyampaikan aspirasi, serta berbagai masalah
yang berkaitan dengan pembangunan manusia.
Kemiskinan
dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup:
Ø Gambaran
kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhanpangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan
kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan
barang-barang dan pelayanan dasar.
Ø Gambaran
tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan
untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi.
Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup
masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi.
Gambaran kemiskinan jenis ini lebih mudah diatasi daripada dua gambaran yang
lainnya.
Ø Gambaran
tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna
"memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di
seluruh dunia. Gambaran tentang ini dapat diatasi dengan mencari objek
penghasilan diluar profesi secara halal. Perkecualian apabila institusi
tempatnya bekerja melarang.
b. Mengukur, kemiskinan dunia dan penyebab kemiskinan
Ø Mengukur kemiskinan
Kemiskinan
bisa dikelompokan dalam dua kategori , yaitu Kemiskinan absolut danKemiskinan relatif. Kemiskinan absolut mengacu pada
satu set standard yang konsisten , tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat /
negara. Sebuah contoh dari pengukuran absolut adalah persentase dari populasi
yang makan dibawah jumlah yg cukup menopang kebutuhan tubuh manusia (kira kira
2000-2500 kalori per hari untuk laki laki dewasa).
Bank Dunia mendefinisikan Kemiskinan absolut sebagai
hidup dg pendapatan dibawahUSD $1/hari
dan Kemiskinan menengah untuk pendapatan dibawah $2 per hari,
dg batasan ini maka diperkiraan pada 2001 1,1 miliar orang didunia mengonsumsi
kurang dari $1/hari dan 2,7 miliar orang didunia mengonsumsi kurang dari
$2/hari."Proporsi penduduk negara berkembang yang hidup dalam Kemiskinan
ekstrem telah turun dari 28% pada 1990 menjadi 21% pada 2001.Melihat pada
periode 1981-2001, persentase dari penduduk dunia yang hidup dibawah garis
kemiskinan $1 dolar/hari telah berkurang separuh. Tetapi , nilai dari $1 juga
mengalami penurunan dalam kurun waktu tersebut.
Meskipun
kemiskinan yang paling parah terdapat di dunia bekembang, ada bukti tentang
kehadiran kemiskinan di setiap region. Di negara-negara maju, kondisi ini
menghadirkan kaum tuna wisma yang
berkelana ke sana kemari dan daerah pinggiran kota dan ghetto yang miskin. Kemiskinan dapat
dilihat sebagai kondisi kolektif masyarakat miskin, atau kelompok orang-orang
miskin, dan dalam pengertian ini keseluruhan negara kadang-kadang dianggap miskin.
Untuk menghindari stigma ini, negara-negara ini biasanya disebut sebagai negara berkembang.
Ø Kemiskinan dunia
Deklarasi
Copenhagen menjelaskan kemiskinan absolut sebagai "sebuah kondisi yang
dicirikan dengan kekurangan parah kebutuhan dasar manusia, termasuk makanan, air minum yang
aman, fasilitas sanitasi, kesehatan,
rumah, pendidikan, dan informasi."
Bank Dunia menggambarkan
"sangat miskin" sebagai orang yang hidup dengan pendapatan kurang
dari PPP$1 per hari, dan "miskin"
dengan pendapatan kurang dariPPP$2 per hari. Berdasarkan standar
tersebut, 21% dari penduduk dunia berada dalam keadaan "sangat
miskin", dan lebih dari setengah penduduk dunia masih disebut
"miskin", pada 2001.
Ø Penyebab kemiskinan
Kemiskinan
banyak dihubungkan dengan:
1.
penyebab individual, atau patologis, yang melihat
kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si
miskin. Contoh dari perilaku dan pilihan adalah penggunaan keuangan tidak
mengukur pemasukan.
2.
penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan
dengan pendidikan keluarga. Penyebab keluarga juga dapat berupa jumlah anggota
keluarga yang tidak sebanding dengan pemasukan keuangan keluarga.
3.
penyebab sub-budaya (subcultural), yang menghubungkan
kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam
lingkungan sekitar. Individu atau keluarga yang mudah tergoda dengan keadaan
tetangga adalah contohnya.
4.
penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai
akibat dari aksi orang lain, termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi. Contoh
dari aksi orang lain lainnya adalah gaji atau honor yang dikendalikan oleh
orang atau pihak lain. Contoh lainnya adalah perbudakan.
5.
penyebab struktural, yang memberikan alasan bahwa
kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial.
Meskipun
diterima luas bahwa kemiskinan dan pengangguran adalah sebagai akibat dari
kemalasan, namun di Amerika Serikat (negara
terkaya per kapita di dunia) misalnya memiliki jutaan masyarakat yang
diistilahkan sebagai pekerja miskin; yaitu, orang yang tidaksejahtera atau
rencana bantuan publik, namun masih gagal melewati atas garis kemiskinan.
c. Menghilangkan kemiskinan
Tanggapan
utama terhadap kemiskinan adalah:
Ø Bantuan
kemiskinan, atau membantu secara langsung kepada orang miskin. Ini telah
menjadi bagian pendekatan dari masyarakat Eropa sejak zaman pertengahan. Di
Indonesia salah satunya berbentuk BLT.
Ø Bantuan
terhadap keadaan individu. Banyak macam kebijakan yang dijalankan untuk
mengubah situasi orang miskin berdasarkan perorangan, termasuk hukuman,
pendidikan, kerja sosial, pencarian kerja, dan lain-lain.
Persiapan
bagi yang lemah. Daripada memberikan bantuan secara langsung kepada orang
miskin, banyak negara sejahteramenyediakan bantuan untuk orang yang
dikategorikan sebagai orang yang lebih mungkin miskin, seperti orang tua atau
orang dengan ketidakmampuan, atau keadaan yang membuat orang miskin, seperti
kebutuhan akan perawatan kesehatan. Persiapan bagi yang lemah juga dapat berupa
pemberian pelatihan sehingga nanti yang bersangkutan dapat membuka usaha secara
mandiri.
d. Seputaran perdebatan konsep
kemiskinan
Diskusi tentang kemiskinan
Data sebuah
lingkungan belajar. Terutama murid yang lebih kecil yang berasal dari keluarga
miskin, kebutuhan dasar mereka seperti yang dijelaskan oleh Abraham Maslow dalam hirarki kebutuhan Maslow; kebutuhan
i beralih ke kemiskinan pada umumnya) yaitu efek Matthew.
Perdebatan
yang berhubungan dalam keadaan capital manusia dan capital individualseseorang cenderung untuk
memfokuskan kepada akses capital instructional dancapital social yang tersedia hanya bagi
mereka yang terdidik dalam sistem formal.
Kondisi dan fenomena kemiskinan yang
mengungkung sebagian besar masyarakat kita hingga kini masih menyimpan banyak
perdebatan. Perdebatan tersebut terutama seputar teori, konsep maupun
metode-metode yang menyangkut tentang kondisi kemiskinan di sekitar kita.
Perdebatan dimulai dengan penyusunan konsep, indikator, dan langkahlangkah
termasuk kebijaksanaan yang harus diambil berhubungan dengan cara mengatasinya,
atau dengan bahasa praktisnya penanggulangan kemiskinan. Hal ini menjadi makin
menjadi kontras, tatkala pihak-pihak yang mengalami atau berada dalam ‘kondisi
miskin’ terus bertambah julah atau tingkat kemiskinanya.
Kemiskinan seperti diungkapkan oleh
Suparlan (1994), dinyatakan sebagai suatu keadaan kekurangan harta atau benda
berharga yang diderita oleh seseorang atau sekelompok orang. Akibat dari
kekurangan harta atau benda tersebut maka seseorang atau sekelompok orang itu merasa
kurang mampu membiayai kebutuhankebutuhan hidupnya sebagaimana layaknya.
Kekurang mampuan tersebut mungkin hanya pada tingkat kebutuhan-kebutuhan budaya
(adat, upacara-upacara, moral dan etika), atau pada tingkat pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan social (pendidikan, berkomunikasi dan berinteraksi dengan
sesama) atau pada tingkat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang mendasar
(makan-minum, berpakaian, bertempat tinggal atau rumah, kesehatan dan
sebagainya).
Kemiskinan, masih menurut Suparlan (1994), dengan demikian
terserap ke dalam dan mempengaruhi hamper keseluruhan aspek-aspek kehidupan
manusia.Kemiskinan merupakan masalah sosial yang sangat kompleks, karena itu
perlu tinjauan menyeluruh dari berbagai sudut pandang. Sebagian sarjana
menjelaskan masalah kemiskinan melalui analisis politik dan pendekatan
struktural. Sarjana yang lain meninjaunya dari perspektif kebudayaan, yang
melahirkan pendekatan kultural.
Penganut strukturalis bermazhab Marxian menggunakan
analisis konflik kelas, yang terfokus pada:
Ø Politik pembangunan yang elitis,
Ø Kebijakan sosial yang tidak adil,
Ø Dominasi sumber daya finansial oleh kelompok tertentu,
Ø Penguasaan aset ekonomi dan alat-alat produksi oleh
golongan kecil masyarakat, dan
Ø Keterbatasan akses pada kegiatan ekonomi produktif.
Sedangkan penganut paham kultural melihat isu krusial
ini dengan melakukan analisis mengenai orientasi nilai budaya di kalangan orang
miskin. Analisis kultural bersifat inward looking dengan
mengamati sikap, perilaku, dan cara pandang orang miskin dalam menjalani
kehidupan. Kaum kulturalis berpandangan, orientasi nilai budaya orang miskin
itu tidak mendukung upaya untuk melepas mata rantai kemiskinan. Suatu keluarga
miskin cenderung mewariskan nilai budaya miskin dari generasi ke generasi,
sehingga lingkaran kemiskinan tak bisa diputus. Interaksi sosial di lingkungan
keluarga miskin menjadi wahana sosialisasi nilai bagi anak-anak secara
berkesinambungan, yang menyebabkan the chain of poverty makin
kuat sehingga tak dapat diurai.
Sikap Mental Dalam perspektif kebudayaan, masalah
kemiskinan bukan sekadar menyangkut kelangkaan sumber daya ekonomi,
ketidakadilan distribusi aset produktif, atau dominasi sumber-sumber finansial
oleh golongan tertentu. Dalam kajian antropologi pembangunan, ada sebuah
ungkapan terkenal: “poverty is a state of willingness rather than
scarcity.” Di luar kendala struktural, masalah kemiskinan menyangkut
sikap mental, pola perilaku, dan predisposisi yang berpangkal pada state
of mind yang tak bersenyawa dengan spirit perubahan, kemajuan, dan peningkatan
status serta kualitas kehidupan.
Buku klasik karangan Oscar Lewis, Five
Families: Mexican Case Studies in the Culture of Poverty (1959),
secara cemerlang menguraikan betapa orientasi nilai, pola hidup, dan cara
berpikir orang miskin mencerminkan suatu kebudayaan kemiskinan. Tesis
utamanya: orang miskin memiliki karakteristik dan nilai-nilai budaya yang
berbeda dengan orang kebanyakan, yang kemudian membentuk sub-kultur tersendiri.
Lewis menulis, “the culture of poverty
indicates that poor people share deviant cultural characteristics; they have
lifestyles that differ from the rest of society and these characteristics
perpetuate their life of poverty.”
Jadi, kemiskinan bukan semata bersumber pada
kebijakan negara yang didominasi golongan elite, yang melahirkan
ketimpangan ekonomi. Atau regulasi pemerintah yang tak adil, sehingga
membuahkan marginalisasi sosial.
Karakteristik kebudayaan kemiskinan antara lain :
1.
Rendahnya
semangat dan dorongan untuk meraih kemajuan,
2.
Lemahnya daya
juang (fighting spirit) untuk mengubah kehidupan,
3.
Rendahnya
motivasi bekerja keras,
4.
Tingginya
tingkat kepasrahan pada nasib-nrimo ing pandum,
5.
Respons yang
pasif dalam menghadapi kesulitan ekonomi,
6.
Lemahnya
aspirasi untuk membangun kehidupan yang lebih baik,
7.
Cenderung mencari
kepuasan sesaat (immediate gratification) dan berorientasi masa sekarang
(present-time orientation), dan
8.
Tidak berminat
pada pendidikan formal yang berdimensi masa depan.
Karakteristik kebudayaan kemiskinan ini bertolak
belakang dengan ciri-ciri manusia modern menurut gambaran Alex Inkeles dan
David Smith dalam Becoming Modern (1974), yang mengutamakan
kerja keras, dorongan untuk maju, pencapaian prestasi, dan berorientasi masa
depan.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa faktor internal
yakni mentalitas orang miskin turut memberi sumbangan pada problem kemiskinan,
dan bukan semata faktor eksternal atau masalah struktural.
D. KESIMPULAN
Kemiskinan pada dasarnya merupakan
salah satu bentuk problema yang muncul dalam kehidupan masyarakat, khususnya
pada negara-negara yang sedang berkembang. Kemiskinan yang dimaksud adalah
kemiskinan dalam bidang ekonomi. Dikatakan berada di bawah garis kemiskinan
apabila pendapatan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling pokok
seperti pangan, pakaian dan tempat berteduh atau dengan pendapat lain, yaitu
adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang
dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan. Kemiskinan bisa dikelompokan dalam dua kategori , yaitu Kemiskinan absolut dan Kemiskinan relatif.Perdebatan yang berhubungan dalam
keadaan capital manusia dan capital individualseseorang cenderung untuk
memfokuskan kepada akses capital instructional dancapital social yang tersedia hanya bagi
mereka yang terdidik dalam sistem formal.banyak negara sejahteramenyediakan bantuan untuk orang yang
dikategorikan sebagai orang yang lebih mungkin miskin, seperti orang tua atau
orang dengan ketidakmampuan, atau keadaan yang membuat orang miskin, seperti
kebutuhan akan perawatan kesehatan. Persiapan bagi yang lemah juga dapat berupa
pemberian pelatihan sehingga nanti yang bersangkutan dapat membuka usaha secara
mandiri.
Amich Alhumami (Peneliti Sosial,
Department of Social Anthropology, University of Sussex, United
Kingdom) dalam artikel “BLT dan budaya kemiskinana”. Di akses dari ‘Suara
Pembarua Daily’ pada 29 mei 2008.
Lewis, Oscar : Kisah Lima Keluarga; 1988.
Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
Suparlan, Dr. Parsudi (penyunting): Kemiskinan
Di Perkotaan, Bacaan Untuk Antropologi Perkotaan; 1984. Jakarta. Penerbit
Sinar Harapan dan Yayasan Obor Indonesia.
ditpk.bappenas.go.id — Direktorat Penanggulangan Kemiskinan BAPPENAS
Make Poverty
History — Campaign dealing
with fighting poverty.
Poverty — The Development Gateway community portal on
Poverty is a comprehensive collection of articles, reports, data, statistics,
projects and other resources.
PovertyNet — PovertyNet from The World Bank Group provides
an introduction to key issues as well as in-depth information on poverty
measurement, monitoring, analysis, and on poverty reduction strategies for
researchers and practitioners.
Center for Global Development — The Center for Global Development is a
Washington, D.C. policy center pursuing research-based, actionable ideas for
the fight against global poverty.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar