PENDAHULUAN
Negara tentu punya kewajiban
untuk memenuhi hak-hak dalam bagi warga negaranya. Di Indonesia, hal demikian
ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dinyatakan bahwa setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan. Kesehatan sebagai hak asasi manusia, mengandung suatu kewajiban
untuk menyehatkan yang sakit dan berupaya mempertahankan yang sehat untuk tetap
sehat. Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang
memungkinan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Khusus untuk Aceh, dalam
Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, telah meletakkan
dasar yang cukup relevan untuk membangun sektor kesehatan di Aceh. Dalam Pasal
224, pada ayat (1) disebutkan bahwa “Setiap penduduk Aceh mempunyai hak yang
sama dalam memperoleh pelayanan kesehatan dalam rangka mewujudkan derajat
kesehatan yang optimal”. Selanjutnya pada ayat (4) ditegaskan kembali bahwa
“Setiap anak yatim dan fakir miskin berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang
menyeluruh tanpa biaya” .
Pasal 224 dari UU No.11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh di atas dengan jelas memberikan “kewajiban”
kepada Pemerintah Aceh untuk melakukan terobosan program dalam jangka panjang
yang memiliki daya ungkit tinggi untuk meningkatkan derajat kesehatan rakyat
Aceh. Sangat memungkinkan jika kemudian Pemerintah Aceh meluncurkan Program
Jaminan Kesehatan Aceh (JKA), hal itu menyiratkan Bahwa setiap penduduk Aceh mempunyai hak yang sama dalam memperoleh
pelayanan kesehatan dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal
berdasarkan Peraturan perundang-undangan. Bahwa untuk memenuhi hak tersebut,
Pemerintah Aceh merancang Program Jaminan Kesehatan dengan prinsip asuransi
kesehatan social yang bermutu, merata, efisien, akuntabel, portabilitas dan
kesinambungan yang disebut denganJaminan Kesehatan Aceh (JKA) bagi sleuruh
penduduk Aceh.
PERMASALAHAN
- Bagaimana dasar adanya program JKA
- Bagaimana inflementasi program JKA
PEMBAHASAAN
- Dasar
Jaminan Kesehatan Aceh (JKA)
Dasar pelayanan kesehatan gratis yang dilahirkan oleh
Pemerintah Aceh melalui Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) kepada masyarakat
Aceh sudah berlaku semenjak 1 Juni 2010. Program ini dengan fasilitas
pengobatan gratis di seluruh Rumah Sakit Pemerintah maupun Puskesmas. Program
JKA sendiri akhirnya dikelola PT Askes selaku pihak ketiga mitra pengelola yang
ditandatangani MoU antara Pemerintah Aceh dengan PT Askes pada tanggal 1 Juni
2010.
Program Jaminan Kesehatan Aceh
(JKA) ini sendiri merupakan diharapkan menjadi salah satu solusi dalam
pemenuhan kebijakan di bidang kesehatan di Aceh. Dari segi proses pelayanan
Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) sendiri sampai saat ini, hanya dengan
prosedur memperlihatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga pada saat
berobat di Puskesmasm Rumah Sakit di Aceh maupun luar Aceh. Sekilas sangat
sederhana tanpa ada prosedur berbelit.
Selain itu, keunggulan Program
Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) termasuk juga tidak membatasi jenis penyakit apa
yang diderita oleh Penduduk Aceh. Untuk tahun 2010, Program Jaminan Kesehatan
Aceh (JKA) memperoleh dana dari Anggaran dan Pendapatan Belanja Aceh (APBA)
sekitar Rp 241 miliar untuk jangka waktu selama enam bulan. Dana tersebut akan
digunakan untuk membiayai jaminan kesehatan bagi sekitar 3,8 juta warga Aceh,
yang terdiri dari 2,6 juta peserta Jamkesmas dan 1,2 juta warga yang belum
mendapat pelayanan kesehatan setara Jamkesmas.
- Inplementasi
program JKA
Masyarakat Aceh selaku
penerima manfaat Program JKA ini masih belum memperoleh informasi mengenai
prosedur pelaksanaan ini sehingga sebagian besar masyarakat kebingungan dengan
petunjuk pelaksanaan Program JKA. Bukan hanya masyarakat, tetapi juga
implementor di lapangan yang semakin terlihat “kelabakan“ melayani ledakan
pasien yang ingin menggunakan program JKA itu. Tetapi faktanya menunjukkan bila
sosialisasi tentang program JKA ini sangat jauh dari harapan ideal.
Masyarakat kebingungan dan
institusi pelaksanaan pun belum cukup siap menghadapi kondisi yang berbeda
setelah Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) resmi diberlakukan. Mulai dari
krisis obat hingga ketidakmampuan teknis unit pemberi layanan untuk menampung
ledakan pasien di luar kondisi normal. Publik kemudian bertanya-tanya, apakah
sebenarnya implementasi Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) ini sudah memenuhi
persiapan yang cukup matang? Apakah program ini akan menjadi solusi strategis
dalam menyelesaikan problematika sektor kesehatan di Aceh? Di sisi lain, yang
tak kalah pentinnya adalah apakah masyarakat Aceh sudah mengetahui sepenuhnya
bagaimana sebenarnya mekanisme Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA)?
Deretan pertanyaan lainnya
juga akan muncul ke permukaan. Sudah sejauh mana dan sefektif apakah
sosialisasi Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA)? Sehingga rumah sakit,
Puskesmas serta unit pendukung lainnya sudah siap dengan segala operasional
pelaksanaan. Selain itu, apakah penunjukkan PT Askes sebagai pihak yang
mengelola Program JKA ini, sehingga masyarakat Aceh juga berhak mendapatkan
jaminan bahwa PT Askes cukup profesional dalam menjalankan kewajibannya. Guna
menjawab semua persoalan yang selalu timbul dari benak kita seperti pertanyaan
di atas, Pemerintah Aceh dan Dinas Kesehatan Aceh selaku Satuan Kerja
Pemerintah Aceh (SKPA) yang bekerja teknis dalam sektor kesehatan seharusnya
dapat menjadikan landasan berfikir masyarakat di atas guna memenuhi segala
aspek persoalan kesehatan di Aceh.
Dalam proses jangka panjang,
masyarakat juga harus mengetahui bagaimana langkah strategis yang dari
Pemerintah Aceh dalam Program JKA, termasuk yang berhubungan dengan regulasi
yang akan mengatur Program JKA tersebut. Dalam hal ini, tentunya kita semua berharap
agar daa yang dialokasikan cukup besar tersebut untuk Program JKA ini tidak
sia-sia dan mubazir. Sepatutnya partisipasi masyarakat diperlukan untuk
terlibat dalam mengontrolnya sehingga Program JKA yang bernilai ratusan miliar
tersebut dapat mencapai tujuan yang kita cita-citakan bersama.
Program JKA
Bisa dibayangkan ketika
Irwandi Yusuf, seorang Gubernur Aceh marah ketika menjenguk Muhammad Amru (12
tahun) di Kamar Isolasi I RSU Zainoel Abidin, Banda Aceh (11 Juli 2010). Pemicu
marahnya Irwandi itu karena keluarga Amru mengaku diharuskan dokter membeli
obat hingga 1.600.000. Padahal Amru terdaftar sebagai pasein kurang mampu yang
mestinya ditanggung Pemerintah Aceh lewat Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA).
(Serambi Inonesia, 12 Juli 2010)
Rohana (55 tahun), warga Keude
Mane, Kecamatan Muara Batu, Aceh Utara, pasien miskin pemegang kartu Jaminan
Kesehatan Aceh (JKA) dikutip biaya Rp 45.000 oleh Puskesmas Gandapura, usai
Rohana menjalani rawat inap selama dua malam di Puskesmas tersebut. Biaya
tersebut untuk sek darah Rp 25.000 dan biaya administrasi Rp 20.000. Atas hal
tersebut, Kepala Dinas kesehatan Bireun melalui Kasi Jaminan Kesehatan,
H.Razali, mengatakan dirinya belum tahu pasti apakah biaya cek darah dan
administrasi untuk pasien JKA digratiskan atau ditanggung pasien. Meskipun JKA
sudah berlaku sejak 1 Juni 2010, tapi sampai saat ini pihaknya belum ada
petunjuk teknis tentang pasien JKA tersebut. Dana pun untuk JKA belum
ditransfer, sedangkan Dinas Kesehatan Provinsi Aceh menginstruksikan para bendahara
JKA Puskesmas untuk membuka rekening. (Serambi
Indonesia, 17 Juli 2010)
Dokter Jual Obat Pada Pasien JKA
Seorang pasien yang berasal
dari keluarga kurang mampu dan berobat menggunakan fasilitas Jaminan Kesehatan
Aceh (JKA) di RSUD Cut Nyak Dien Meulaboh, Aceh Barat, justeru harus
mengeluarkan uang pribadi untuk membeli obat dan mendapatkan pelayanan
kesehatan di rumah sakit tersebut. Selain diharuskan menembus obat di apotek
seharga jutaan rupiah, pasien miskin yang berobat dengan jalur JKA itu juga
diminta membeli obat pada dokter yang akan mengoperasinya, seharga Rp
300.000/paket. Soalnya, obat-obatan tersebut tidak bisa dipeoleh di apotek
terdekat dan tidak dijual bebas. Di sisi lain, oknum dokter tersebut menyatakan
jika obat tersebut tidak dibeli, maka pihaknya tidak bisa mengperasi pasien,
sehingga dikhawatirkan akan berdampak buruk bagi pasien. (Serambi Indonesia, 26 Juli 2010)
Data dan Fakta Program JKA
Beberapa data dan Fakta menarik tentang Jaminan
Kesehatan Aceh sebagai berikut :
1. Sebanyak 3,8 juta warga Aceh akan mendapat
subsidi kesehatan dari Pemerintah Aceh. Subsidi ini juga memberikan insentif
yang cukup bagi tenaga kesehatan serta dokter dan manajemen rumah sakit. ”Rumah
sakit dilarang menolak pasien dari berbagai kalangan, terutama masyarakat
miskin. Tidak ada alasan lagi bagi mereka untuk melakukan hal itu.
2. Seluruh warga Aceh yang memiliki kartu
tanda penduduk (KTP) NAD akan dijamin oleh program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA)
ini. Namun, dirinya juga menyatakan, warga NAD yang tercatat sebagai peserta
Askes dan Jamsostek tidak akan mendapatkan lagi dana subsidi tersebut. Begitu
juga dengan warga Aceh yang sudah memiliki asuransi kesehatan pribadi. ”Yang
terakhir ini, mereka memiliki hak untuk memilih jaminan kesehatan mana yang
akan mereka gunakan. Bila dinilai JKA yang memiliki jaminan paling baik, mereka
bisa menggunakannya, dan sebaliknya,”.
3. Untuk tahun 2010, Pemerintah Provinsi NAD
mendapat kucuran dana senilai Rp 241 miliar dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Aceh (APBA) tahun 2010 untuk pengembangan program ini. Dana tersebut
akan digunakan untuk membiayai jaminan kesehatan bagi 3,8 juta warga Aceh, yang
terdiri dari 2,6 juta peserta Jamkesmas dan 1,2 juta warga yang belum mendapat
pelayanan kesehatan setara Jamkesmas. ”Intinya, kami melengkapi keberadaan
program nasional.
4. Untuk mendapatkan JKA ini, warga Aceh
hanya perlu menunjukkan KTP, kartu keluarga, atau surat keterangan dari lurah
atau keuchik kepada manajemen pusat kesehatan masyarakat atau rumah sakit. Yani
memastikan tidak akan ada pungutan apa pun dari rumah sakit atau puskesmas
terkait dengan biaya pengobatan. ”Seluruhnya ditanggung pemerintah. Kecuali
kalau pelayanan terkait dengan kosmetik atau kecantikan.
5.
Validasi
data calon penerima terus dilakukan sampai September 2010. Namun, dirinya
optimistis program itu tidak salah sasaran karena data penerima sudah ada di
tangan mereka, termasuk data peserta program Askes, Jamkesmas, dan Jamsostek.
Yani menyatakan, dengan adanya dukungan dari Pemprov NAD, tidak ada alasan bagi
rumah sakit dan tenaga medis menolak pasien, termasuk pasien kurang mampu. (Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/01/03141168/38.juta.warga.aceh.dapat.subsidi.kesehaan).
Kritik dan Saran terhadap JKA
Pada prinsipnya implementasi
dari Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) terkesan sangat dipaksanakan untuk
segera direalisasikan pada tahun 2010 ini. Padahal, tingkat sosialisasi dari
program ini masih jauh dari harapan. Seharusnya, implementasinya baru dapat
dilakukan ketika “Manajemen Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA)”
saja masih dalam proses pencetakan.
Kesan dipaksakan juga terihat
jelas ketika sebelumnya masalah yang mengatur tentang program ini menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari Rancangan Qanun Aceh tentang Kesehatan. Tetapi
kemudian, masalah Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) diatur dalam Rancangan
Qanun tersendiri. Hal ini disinyalir akibat berlalut-larutnya pembahasan
Rancangan Qanun Aceh tentang Kesehatan itu, sehingga program prioritas
Pemerintah Aceh tahun 2010 itu diatur dalam Peraturan Gubernur, sehingga dapat
segera dijalankan.
Dan faktanya, sebagaimana dikemukakan di atas,
baik penyedia layanan (seperti Rumah Sakit dan Puskesmas) dan masyarakat
sebagai penggunan layanan belum mengetahui dengan baik soal bagaimana teknis
dari implementasi Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) itu. Tentu, kondisi
demikian terjadi, bukan hanya di level kecamatan maupun kabupaten, tetapi juga
terjadi di RSU Zainoel Abidin. Akhirnya, Gubernur Aceh pun sempat marah dengan
kondisi demikian.
Dengan demikian, untuk
optimalisasi capaian dan target pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Aceh
(JKA) tersebut ada beberapa tawaran solusi yang harus dilakukan oleh Pemerintah
Aceh antara lain sebagi berikut:
1. Program ini belum memiliki payung hukum
yang kuat (Qanun) dan aturan pelaksanan lainnya sehingga program ini belum ada
uji publiknya, dan belum memenuhi kaedah-kaidah partispatory, selain juga
memang Pemerintah Aceh terkesan terburu-buru dan tidak sigap dalam
mempersiapkan aturan-aturan dan mekanisme implementasi program termasuk
hubungan dan kordinasi dengan kabupaten/kota di Aceh. Oleh karena itu
Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten Kota perlu sesegera mungkin
mempersiapkan Qanun tentang Kesehatan Aceh.
2. Program ini belum memiliki mekanisme
pengawasan dan mekanisme komplain sampai di kabupaten/kota sehingga berpeluang
besar untuk disalah gunakan. Pemerintah Aceh harus segera membangun mekanisme
ini dengan baik, secara partisipatif sehingga rakyat bisa terlibat mengontrol
implementasi program ini.
3. Sistem satu identitas yang menjadi jaminan
untuk tidak tumpang tindihnya pembiayaan antara asuransi yang telah dimiliki
masyarakat (PNS/TNI/POLRI/Perusahaan) masih diragukan keabsahan dan
keandalannya karena sampai sekarang masih saja banyak penduduk Aceh yang belum
memiliki KTP nasional. Bagaimana kondisi ini dapat diselesaikan dengan cepat
dan efektif agar tidak menjadi masalah baru bagi masyarakat.
4. Pemerintah Aceh segera melakukan
sosialisasi secara lebih komprehensif hingga kepelosok daerah terpencil
sehingga Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) ini dapat diketahui dengan baik.
Sosialisasi ini bukan hanya kepada masyarakat luas melainkan juga kepada
institusi-institusi pengambil kebijakan teknis hingga penyedian layanan. Bila
hal tersebut tidak di lakukan maka implementasi Program Jaminan Kesehatan Aceh
(JKA) malah tidak menjadi solusi bagi masyarakat, melainkan menumbuhkan konflik
baru dalam penyedian layanan kesehatan, antara penyedia layanan (seperti Rumah
Sakit dan Puskesmas) dengan masyarakat sebagai penggunan layanan dari program
ini. Hal tersebut sangat memungkinkan terjadi ketika kedua belah pihak
(penyedia dan penerima layanan) tidak memiliki cukup informasi bagaaimana
sebenarnya filosoifi dan aturan-aturan teknis yang mengatur Program Jaminan
Kesehatan Aceh (JKA) tersebut.
5. Karena Program Jaminan Kesehatan Aceh
(JKA) berlaku seluruh Aceh, maka sangat penting sekali bagi Pemerintah Aceh
untuk membangun koordinasi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota di seluruh Aceh.
Jika ini tidak dilakukan secara maksimal, maka dengan sendirinya implementasi
dari program ini akan sulit mencapai tujuan yang sebenarnya.
6. Mendesak Dinas Kesehatan Aceh untuk
memperkuat koordinasi dan membangun pemahaman yang benar dengan seluruh Dinas
Kesehatan, Rumah Sakit hingga Puskesmas, sebagai unit penyedia layanan
kesehatan yang tersebar di seluruh Aceh, sehingga pemberian layanan sebagaimana
maksud dari Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) tidak lagi menemui kendala.
7. PT. ASKES yang bertindak sebagai provider JKA harus bekerja maksimal
untuk memberikan pelayanan prima bagi seluruh pengguna layanan Program Jamina
Kesehatan Aceh (JKA). PT Askes harus membuktikan bila perusahaan ini cukup siap
sebagai penyelenggara program JKA di Aceh. "Kami akan membantu Pemerintah
Aceh untuk dapat mewujudkan pelayanan berkualitas dengan harga terkendali.
Bukan fasilitas kesehatan pemerintah saja tapi juga fasilitas swasta,"
Farid Husein selaku Komisari PT. Askes. (Kompas, 14 Mei 2010). Rakyat Aceh
meminta keseriusan PT. Askes agar benar-benar profesional dalam menjalankan
Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) ini.
8. Untuk menghindari tidak tepatnya sasaran
program tersebut, validasi data penerima bantuan JKA harus cukup akurat dan
transparan. Masyarakat Aceh yang sudah memiliki asuransi kesehatan pribadi atau
komersial serta tergolong dalam golongan ekonomi menengah ke atas disarankan
untuk dikeluarkan dari program tersebut.
9. Pemerintah Aceh perlu membangun sistem
kontrol yang melibatkan berbagai unsur masyarakat dan pemerintah agar tidak
terjadi penyelewengan dalam implementasi JKA.
KESIMPULAN
Bagaimana jika sampai akhir
tahun ini, implementasi JKA hanya menjual “cek kosong” saja?. Apabila
sosialisasi tidak segera dijadikan agenda besar bagi Pemerintah Aceh, untuk
memberikan informasi yang sebenarnya tentang program ini, bukan hanya untuk
masyarakat tetapi juga kepada unit-unit pelaksana teknis kesehatan (Rumah sakit
hingga Puskesmas), termasuk para dokter yang berhubungan langsung pasien,
hingga akhir Desember 2010 lebih baik Pemerintah Aceh segera meninjau ulang
keberlanjutan Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) ini. Program ini layak untuk
dihentikan saja karena tidak mampu memenuhi kebutuhan rakyat terhadap pelayanan
kesehatan.
Jika hanya “cek kosong” untuk
rakyat, maka sebenarnya pola demikian telah memicu konflik baru dalam pelayanan
kesehatan di Aceh. Pasien hanya mendengar dan membaca janji-janji manis dari
program ini yang disampaikan oleh para pejabat tinggi di Aceh. Tetapi sampai
mereka di Rumah Sakit atau Puskesmas : mereka tidak mendapatkan apa yang
dicita-citakan oleh Pemerintah Aceh itu. Ini menyedihkan bagi rakyat. Program
besar dengan alokasi dana ratusan milyar tersebut baiknya dialihkan dengan
program yang berorienasi pada aspek promosi dan aspek preventif saja. Denagn
cara demikian, maka pembangunan sektor kesehatan Aceh akan mencapai derajat
yang lebih tinggi dibandingkan dengan pembiayaan yang menonjolkan aspek kuratif
bernama Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) itu.
Kita percaya bahwa untuk
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat diperlukan suatu sistem yang
terintegrasi antara aspek medis, aspek sosial, aspek ekonomi, manajemen
pelayanan, politik anggaran, pendidikan, dan aspek keadilan dan kesetaraan
(equity). Semua aspek tersebut idealnya menjadi pijakan komprehensif dalam
implementasi Program Jaminan Kesehtaan Aceh (JKA).
Sumber referensi
(Sumber.http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/01/03141168/38.juta.warga.aceh.dapat.subsidi.kesehaan).
(Serambi Inonesia, 12 Juli 2010)
(Serambi
Indonesia, 26 Juli 2010)
Sumber : Diolah dari media Harian
Serambi Indonesia, Harian Harian Aceh, The Global Journal, Harian Rakyat Aceh,
Harian Metro Aceh, Harian Waspada dan
Harian Kompas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar