Kamis, 17 April 2014

PROGRAM JAMINAN KESEHATAN ACEH (JKA)


PENDAHULUAN
Negara tentu punya kewajiban untuk memenuhi hak-hak dalam bagi warga negaranya. Di Indonesia, hal demikian ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dinyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Kesehatan sebagai hak asasi manusia, mengandung suatu kewajiban untuk menyehatkan yang sakit dan berupaya mempertahankan yang sehat untuk tetap sehat. Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Khusus untuk Aceh, dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, telah meletakkan dasar yang cukup relevan untuk membangun sektor kesehatan di Aceh. Dalam Pasal 224, pada ayat (1) disebutkan bahwa “Setiap penduduk Aceh mempunyai hak yang sama dalam memperoleh pelayanan kesehatan dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal”. Selanjutnya pada ayat (4) ditegaskan kembali bahwa “Setiap anak yatim dan fakir miskin berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang menyeluruh tanpa biaya” .
Pasal 224 dari UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh di atas dengan jelas memberikan “kewajiban” kepada Pemerintah Aceh untuk melakukan terobosan program dalam jangka panjang yang memiliki daya ungkit tinggi untuk meningkatkan derajat kesehatan rakyat Aceh. Sangat memungkinkan jika kemudian Pemerintah Aceh meluncurkan Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA), hal itu menyiratkan Bahwa setiap penduduk Aceh mempunyai hak yang sama dalam memperoleh pelayanan kesehatan dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal berdasarkan Peraturan perundang-undangan. Bahwa untuk memenuhi hak tersebut, Pemerintah Aceh merancang Program Jaminan Kesehatan dengan prinsip asuransi kesehatan social yang bermutu, merata, efisien, akuntabel, portabilitas dan kesinambungan yang disebut denganJaminan Kesehatan Aceh (JKA) bagi sleuruh penduduk Aceh.

PERMASALAHAN
  1. Bagaimana dasar adanya program JKA
  2. Bagaimana inflementasi program JKA



PEMBAHASAAN
  1. Dasar Jaminan Kesehatan Aceh (JKA)
Dasar pelayanan kesehatan gratis yang dilahirkan oleh Pemerintah Aceh melalui Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) kepada masyarakat Aceh sudah berlaku semenjak 1 Juni 2010. Program ini dengan fasilitas pengobatan gratis di seluruh Rumah Sakit Pemerintah maupun Puskesmas. Program JKA sendiri akhirnya dikelola PT Askes selaku pihak ketiga mitra pengelola yang ditandatangani MoU antara Pemerintah Aceh dengan PT Askes pada tanggal 1 Juni 2010.
Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) ini sendiri merupakan diharapkan menjadi salah satu solusi dalam pemenuhan kebijakan di bidang kesehatan di Aceh. Dari segi proses pelayanan Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) sendiri sampai saat ini, hanya dengan prosedur memperlihatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga pada saat berobat di Puskesmasm Rumah Sakit di Aceh maupun luar Aceh. Sekilas sangat sederhana tanpa ada prosedur berbelit.
Selain itu, keunggulan Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) termasuk juga tidak membatasi jenis penyakit apa yang diderita oleh Penduduk Aceh. Untuk tahun 2010, Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) memperoleh dana dari Anggaran dan Pendapatan Belanja Aceh (APBA) sekitar Rp 241 miliar untuk jangka waktu selama enam bulan. Dana tersebut akan digunakan untuk membiayai jaminan kesehatan bagi sekitar 3,8 juta warga Aceh, yang terdiri dari 2,6 juta peserta Jamkesmas dan 1,2 juta warga yang belum mendapat pelayanan kesehatan setara Jamkesmas.
  1. Inplementasi program JKA
Masyarakat Aceh selaku penerima manfaat Program JKA ini masih belum memperoleh informasi mengenai prosedur pelaksanaan ini sehingga sebagian besar masyarakat kebingungan dengan petunjuk pelaksanaan Program JKA. Bukan hanya masyarakat, tetapi juga implementor di lapangan yang semakin terlihat “kelabakan“ melayani ledakan pasien yang ingin menggunakan program JKA itu. Tetapi faktanya menunjukkan bila sosialisasi tentang program JKA ini sangat jauh dari harapan ideal.
Masyarakat kebingungan dan institusi pelaksanaan pun belum cukup siap menghadapi kondisi yang berbeda setelah Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) resmi diberlakukan. Mulai dari krisis obat hingga ketidakmampuan teknis unit pemberi layanan untuk menampung ledakan pasien di luar kondisi normal. Publik kemudian bertanya-tanya, apakah sebenarnya implementasi Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) ini sudah memenuhi persiapan yang cukup matang? Apakah program ini akan menjadi solusi strategis dalam menyelesaikan problematika sektor kesehatan di Aceh? Di sisi lain, yang tak kalah pentinnya adalah apakah masyarakat Aceh sudah mengetahui sepenuhnya bagaimana sebenarnya mekanisme Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA)?
Deretan pertanyaan lainnya juga akan muncul ke permukaan. Sudah sejauh mana dan sefektif apakah sosialisasi Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA)? Sehingga rumah sakit, Puskesmas serta unit pendukung lainnya sudah siap dengan segala operasional pelaksanaan. Selain itu, apakah penunjukkan PT Askes sebagai pihak yang mengelola Program JKA ini, sehingga masyarakat Aceh juga berhak mendapatkan jaminan bahwa PT Askes cukup profesional dalam menjalankan kewajibannya. Guna menjawab semua persoalan yang selalu timbul dari benak kita seperti pertanyaan di atas, Pemerintah Aceh dan Dinas Kesehatan Aceh selaku Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) yang bekerja teknis dalam sektor kesehatan seharusnya dapat menjadikan landasan berfikir masyarakat di atas guna memenuhi segala aspek persoalan kesehatan di Aceh.
Dalam proses jangka panjang, masyarakat juga harus mengetahui bagaimana langkah strategis yang dari Pemerintah Aceh dalam Program JKA, termasuk yang berhubungan dengan regulasi yang akan mengatur Program JKA tersebut. Dalam hal ini, tentunya kita semua berharap agar daa yang dialokasikan cukup besar tersebut untuk Program JKA ini tidak sia-sia dan mubazir. Sepatutnya partisipasi masyarakat diperlukan untuk terlibat dalam mengontrolnya sehingga Program JKA yang bernilai ratusan miliar tersebut dapat mencapai tujuan yang kita cita-citakan bersama.
Program JKA
Bisa dibayangkan ketika Irwandi Yusuf, seorang Gubernur Aceh marah ketika menjenguk Muhammad Amru (12 tahun) di Kamar Isolasi I RSU Zainoel Abidin, Banda Aceh (11 Juli 2010). Pemicu marahnya Irwandi itu karena keluarga Amru mengaku diharuskan dokter membeli obat hingga 1.600.000. Padahal Amru terdaftar sebagai pasein kurang mampu yang mestinya ditanggung Pemerintah Aceh lewat Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA). (Serambi Inonesia, 12 Juli 2010)
Rohana (55 tahun), warga Keude Mane, Kecamatan Muara Batu, Aceh Utara, pasien miskin pemegang kartu Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) dikutip biaya Rp 45.000 oleh Puskesmas Gandapura, usai Rohana menjalani rawat inap selama dua malam di Puskesmas tersebut. Biaya tersebut untuk sek darah Rp 25.000 dan biaya administrasi Rp 20.000. Atas hal tersebut, Kepala Dinas kesehatan Bireun melalui Kasi Jaminan Kesehatan, H.Razali, mengatakan dirinya belum tahu pasti apakah biaya cek darah dan administrasi untuk pasien JKA digratiskan atau ditanggung pasien. Meskipun JKA sudah berlaku sejak 1 Juni 2010, tapi sampai saat ini pihaknya belum ada petunjuk teknis tentang pasien JKA tersebut. Dana pun untuk JKA belum ditransfer, sedangkan Dinas Kesehatan Provinsi Aceh menginstruksikan para bendahara JKA Puskesmas untuk membuka rekening. (Serambi Indonesia, 17 Juli 2010)
Dokter Jual Obat Pada Pasien JKA
Seorang pasien yang berasal dari keluarga kurang mampu dan berobat menggunakan fasilitas Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) di RSUD Cut Nyak Dien Meulaboh, Aceh Barat, justeru harus mengeluarkan uang pribadi untuk membeli obat dan mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit tersebut. Selain diharuskan menembus obat di apotek seharga jutaan rupiah, pasien miskin yang berobat dengan jalur JKA itu juga diminta membeli obat pada dokter yang akan mengoperasinya, seharga Rp 300.000/paket. Soalnya, obat-obatan tersebut tidak bisa dipeoleh di apotek terdekat dan tidak dijual bebas. Di sisi lain, oknum dokter tersebut menyatakan jika obat tersebut tidak dibeli, maka pihaknya tidak bisa mengperasi pasien, sehingga dikhawatirkan akan berdampak buruk bagi pasien. (Serambi Indonesia, 26 Juli 2010)
Data dan Fakta Program JKA
Beberapa data dan Fakta menarik tentang Jaminan Kesehatan Aceh sebagai berikut :
1.      Sebanyak 3,8 juta warga Aceh akan mendapat subsidi kesehatan dari Pemerintah Aceh. Subsidi ini juga memberikan insentif yang cukup bagi tenaga kesehatan serta dokter dan manajemen rumah sakit. ”Rumah sakit dilarang menolak pasien dari berbagai kalangan, terutama masyarakat miskin. Tidak ada alasan lagi bagi mereka untuk melakukan hal itu.
2.      Seluruh warga Aceh yang memiliki kartu tanda penduduk (KTP) NAD akan dijamin oleh program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) ini. Namun, dirinya juga menyatakan, warga NAD yang tercatat sebagai peserta Askes dan Jamsostek tidak akan mendapatkan lagi dana subsidi tersebut. Begitu juga dengan warga Aceh yang sudah memiliki asuransi kesehatan pribadi. ”Yang terakhir ini, mereka memiliki hak untuk memilih jaminan kesehatan mana yang akan mereka gunakan. Bila dinilai JKA yang memiliki jaminan paling baik, mereka bisa menggunakannya, dan sebaliknya,”.
3.      Untuk tahun 2010, Pemerintah Provinsi NAD mendapat kucuran dana senilai Rp 241 miliar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) tahun 2010 untuk pengembangan program ini. Dana tersebut akan digunakan untuk membiayai jaminan kesehatan bagi 3,8 juta warga Aceh, yang terdiri dari 2,6 juta peserta Jamkesmas dan 1,2 juta warga yang belum mendapat pelayanan kesehatan setara Jamkesmas. ”Intinya, kami melengkapi keberadaan program nasional.
4.      Untuk mendapatkan JKA ini, warga Aceh hanya perlu menunjukkan KTP, kartu keluarga, atau surat keterangan dari lurah atau keuchik kepada manajemen pusat kesehatan masyarakat atau rumah sakit. Yani memastikan tidak akan ada pungutan apa pun dari rumah sakit atau puskesmas terkait dengan biaya pengobatan. ”Seluruhnya ditanggung pemerintah. Kecuali kalau pelayanan terkait dengan kosmetik atau kecantikan.
5.      Validasi data calon penerima terus dilakukan sampai September 2010. Namun, dirinya optimistis program itu tidak salah sasaran karena data penerima sudah ada di tangan mereka, termasuk data peserta program Askes, Jamkesmas, dan Jamsostek. Yani menyatakan, dengan adanya dukungan dari Pemprov NAD, tidak ada alasan bagi rumah sakit dan tenaga medis menolak pasien, termasuk pasien kurang mampu.   (Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/01/03141168/38.juta.warga.aceh.dapat.subsidi.kesehaan).
Kritik dan Saran terhadap JKA
Pada prinsipnya implementasi dari Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) terkesan sangat dipaksanakan untuk segera direalisasikan pada tahun 2010 ini. Padahal, tingkat sosialisasi dari program ini masih jauh dari harapan. Seharusnya, implementasinya baru dapat dilakukan ketika “Manajemen Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA)” saja masih dalam proses pencetakan.
Kesan dipaksakan juga terihat jelas ketika sebelumnya masalah yang mengatur tentang program ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Rancangan Qanun Aceh tentang Kesehatan. Tetapi kemudian, masalah Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) diatur dalam Rancangan Qanun tersendiri. Hal ini disinyalir akibat berlalut-larutnya pembahasan Rancangan Qanun Aceh tentang Kesehatan itu, sehingga program prioritas Pemerintah Aceh tahun 2010 itu diatur dalam Peraturan Gubernur, sehingga dapat segera dijalankan.
Dan faktanya, sebagaimana dikemukakan di atas, baik penyedia layanan (seperti Rumah Sakit dan Puskesmas) dan masyarakat sebagai penggunan layanan belum mengetahui dengan baik soal bagaimana teknis dari implementasi Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) itu. Tentu, kondisi demikian terjadi, bukan hanya di level kecamatan maupun kabupaten, tetapi juga terjadi di RSU Zainoel Abidin. Akhirnya, Gubernur Aceh pun sempat marah dengan kondisi demikian.
Dengan demikian, untuk optimalisasi capaian dan target pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) tersebut ada beberapa tawaran solusi yang harus dilakukan oleh Pemerintah Aceh antara lain sebagi berikut:
1.      Program ini belum memiliki payung hukum yang kuat (Qanun) dan aturan pelaksanan lainnya sehingga program ini belum ada uji publiknya, dan belum memenuhi kaedah-kaidah partispatory, selain juga memang Pemerintah Aceh terkesan terburu-buru dan tidak sigap dalam mempersiapkan aturan-aturan dan mekanisme implementasi program termasuk hubungan dan kordinasi dengan kabupaten/kota di Aceh. Oleh karena itu Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten Kota perlu sesegera mungkin mempersiapkan Qanun tentang Kesehatan Aceh.
2.      Program ini belum memiliki mekanisme pengawasan dan mekanisme komplain sampai di kabupaten/kota sehingga berpeluang besar untuk disalah gunakan. Pemerintah Aceh harus segera membangun mekanisme ini dengan baik, secara partisipatif sehingga rakyat bisa terlibat mengontrol implementasi program ini.
3.      Sistem satu identitas yang menjadi jaminan untuk tidak tumpang tindihnya pembiayaan antara asuransi yang telah dimiliki masyarakat (PNS/TNI/POLRI/Perusahaan) masih diragukan keabsahan dan keandalannya karena sampai sekarang masih saja banyak penduduk Aceh yang belum memiliki KTP nasional. Bagaimana kondisi ini dapat diselesaikan dengan cepat dan efektif agar tidak menjadi masalah baru bagi masyarakat.
4.      Pemerintah Aceh segera melakukan sosialisasi secara lebih komprehensif hingga kepelosok daerah terpencil sehingga Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) ini dapat diketahui dengan baik. Sosialisasi ini bukan hanya kepada masyarakat luas melainkan juga kepada institusi-institusi pengambil kebijakan teknis hingga penyedian layanan. Bila hal tersebut tidak di lakukan maka implementasi Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) malah tidak menjadi solusi bagi masyarakat, melainkan menumbuhkan konflik baru dalam penyedian layanan kesehatan, antara penyedia layanan (seperti Rumah Sakit dan Puskesmas) dengan masyarakat sebagai penggunan layanan dari program ini. Hal tersebut sangat memungkinkan terjadi ketika kedua belah pihak (penyedia dan penerima layanan) tidak memiliki cukup informasi bagaaimana sebenarnya filosoifi dan aturan-aturan teknis yang mengatur Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) tersebut.
5.      Karena Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) berlaku seluruh Aceh, maka sangat penting sekali bagi Pemerintah Aceh untuk membangun koordinasi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota di seluruh Aceh. Jika ini tidak dilakukan secara maksimal, maka dengan sendirinya implementasi dari program ini akan sulit mencapai tujuan yang sebenarnya.
6.      Mendesak Dinas Kesehatan Aceh untuk memperkuat koordinasi dan membangun pemahaman yang benar dengan seluruh Dinas Kesehatan, Rumah Sakit hingga Puskesmas, sebagai unit penyedia layanan kesehatan yang tersebar di seluruh Aceh, sehingga pemberian layanan sebagaimana maksud dari Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) tidak lagi menemui kendala.
7.      PT. ASKES yang bertindak sebagai provider JKA harus bekerja maksimal untuk memberikan pelayanan prima bagi seluruh pengguna layanan Program Jamina Kesehatan Aceh (JKA). PT Askes harus membuktikan bila perusahaan ini cukup siap sebagai penyelenggara program JKA di Aceh. "Kami akan membantu Pemerintah Aceh untuk dapat mewujudkan pelayanan berkualitas dengan harga terkendali. Bukan fasilitas kesehatan pemerintah saja tapi juga fasilitas swasta," Farid Husein selaku Komisari PT. Askes. (Kompas, 14 Mei 2010). Rakyat Aceh meminta keseriusan PT. Askes agar benar-benar profesional dalam menjalankan Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) ini.
8.      Untuk menghindari tidak tepatnya sasaran program tersebut, validasi data penerima bantuan JKA harus cukup akurat dan transparan. Masyarakat Aceh yang sudah memiliki asuransi kesehatan pribadi atau komersial serta tergolong dalam golongan ekonomi menengah ke atas disarankan untuk dikeluarkan dari program tersebut.
9.      Pemerintah Aceh perlu membangun sistem kontrol yang melibatkan berbagai unsur masyarakat dan pemerintah agar tidak terjadi penyelewengan dalam implementasi JKA.




















KESIMPULAN
Bagaimana jika sampai akhir tahun ini, implementasi JKA hanya menjual “cek kosong” saja?. Apabila sosialisasi tidak segera dijadikan agenda besar bagi Pemerintah Aceh, untuk memberikan informasi yang sebenarnya tentang program ini, bukan hanya untuk masyarakat tetapi juga kepada unit-unit pelaksana teknis kesehatan (Rumah sakit hingga Puskesmas), termasuk para dokter yang berhubungan langsung pasien, hingga akhir Desember 2010 lebih baik Pemerintah Aceh segera meninjau ulang keberlanjutan Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) ini. Program ini layak untuk dihentikan saja karena tidak mampu memenuhi kebutuhan rakyat terhadap pelayanan kesehatan.
Jika hanya “cek kosong” untuk rakyat, maka sebenarnya pola demikian telah memicu konflik baru dalam pelayanan kesehatan di Aceh. Pasien hanya mendengar dan membaca janji-janji manis dari program ini yang disampaikan oleh para pejabat tinggi di Aceh. Tetapi sampai mereka di Rumah Sakit atau Puskesmas : mereka tidak mendapatkan apa yang dicita-citakan oleh Pemerintah Aceh itu. Ini menyedihkan bagi rakyat. Program besar dengan alokasi dana ratusan milyar tersebut baiknya dialihkan dengan program yang berorienasi pada aspek promosi dan aspek preventif saja. Denagn cara demikian, maka pembangunan sektor kesehatan Aceh akan mencapai derajat yang lebih tinggi dibandingkan dengan pembiayaan yang menonjolkan aspek kuratif bernama Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) itu.
Kita percaya bahwa untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat diperlukan suatu sistem yang terintegrasi antara aspek medis, aspek sosial, aspek ekonomi, manajemen pelayanan, politik anggaran, pendidikan, dan aspek keadilan dan kesetaraan (equity). Semua aspek tersebut idealnya menjadi pijakan komprehensif dalam implementasi Program Jaminan Kesehtaan Aceh (JKA).












Sumber referensi
(Serambi Inonesia, 12 Juli 2010)
(Serambi Indonesia, 26 Juli 2010)

Sumber : Diolah dari media Harian Serambi Indonesia, Harian Harian Aceh, The Global Journal, Harian Rakyat Aceh, Harian  Metro Aceh, Harian Waspada dan Harian Kompas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar